Mas Soeharto, pemuda jangkung kelahiran Pacitan, 2 Maret 1901, telah bekerja di Kantor Pos Semarang sebagai tenaga harian pada umur 18 tahun selepas sekolah MULO di Yogjakarta. Setelah menyelesaikan Controleur Cursus angkatan pertama di Jakarta, kedudukannya semakin mantap di kantor tempat dia bekerja. Sebagai pegawai yang baru bekerja, dia sudah berhemat hidup untuk meringankan beban orang tua, membiayai sekolah adik-adiknya dan membantu pemuda-pemuda lain yang kekurangan biaya. Jiwanya telah ditempa untuk menjadi seorang pengabdi bagi masyarakat. Pemuda cerdas ini menjadi satu-satunya orang Indonesia yang mengikuti Hoogere Rangcursus di Bandung yang kemudian membawanya menginjakkan kaki di Kantor Pusat PTT bagian Pos dan Telegrap. Karirnya cepat menanjak dan sempat memimpin Bureau Materieel Beheer en Magazijndienst pada saat pemerintah kolonial Belanda di ambang kekalahan menghadapi serbuan bala tentara Jepang.
Ketika itu di Radio Laboratorium PTT Tegallega, Kasmiri Soemamihardja, sedang menekuni pekerjaannya di bidang teknik radio. Dia seorang pemuda asli Bandung yang lahir pada tanggal 5 Mei 1913. Kasmiri menjadi pegawai PTT setelah tamat dari sekolah MULO di Bandung pada 1930. Setahun kemudian Kasmiri menyelesaikan pendidikan Radio Monteur PTT, tahun berikutnya ditugaskan ke Stasiun Pemancar Cililin, dan setelah itu dipindahkan ke Radio Laboratorium PTT di Tegallega. Sempat menjadi Kepala Radio Stasiun Bagan Siapi-api di Riau pada tahun 1937 sebelum kemudian dikembalikan lagi ke Radio Laboratorium PTT.
Pada saat yang sama, Soetoko, pemuda kelahiran Jakarta tanggal 18 Mei 1917, menjadi pegawai di Kantor Pusat PTT dan baru saja menyelesaikan Bedrijfsambtenaar Cursus di PTT School, jl. Banda, Bandung. Garis hidupnya mirip dengan atasannya, Mas Soeharto. Keduanya pernah bersekolah di Pacitan dan Yogjakarta, juga bekerja dan mengenyam kursus di pendidikan PTT. Ketika menjadi siswa di PTT School, Soetoko tampil sebagai tokoh pemuda yang sadar akan keadaan bangsanya di dalam kungkungan penjajahan Belanda. Dia aktif menggalang diskusi secara sembunyi-sembunyi dengan sejumlah siswa lainnya baik yang mengikuti Bedrijfsambtenaar Cursus maupun Controleur Cursus, membicarakan tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan kalau pemerintah Hindia Belanda kalah perang.
Pada tanggal 8 Maret 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Soetoko segera menghadap Mas Soeharto, menyampaikan maksud untuk melakukan pengambil alihan Kantor Pusat PTT dari tangan Belanda. Mas Soeharto mencegah dan minta agar ditunda. “Jangan terburu-buru”, jelas Mas Soeharto: “Harus ada koordinasi dalam pengendalian segenap kekuatan nasional yang akan melakukan pendobrakan. Harus dilakukan serempak”. Emosi Soetoko yang berpola pikir sektoral itu berhasil diluluhkan oleh Mas Soeharto yang berpola pandang lebih luas dalam cakupan nasional. Kantor Pusat PTT dan seluruh kegiatan PTT di Indonesia kemudian berada di bawah penguasaan Jepang. Ketiga tokoh kita, Mas Soeharto, Soetoko dan Kasmiri Soemamihardja meneruskan pengabdiannya sebagai pegawai PTT di masa pendudukan Jepang tersebut. Mas Soeharto bahkan sempat menjadi Wakil Kepala Kantor Pusat PTT, dan memperoleh Bintang Gunzei Hoosisyoo Otsu Kozin Dai Ni Go, lambang kebaktian kepada Pemerintah Balatentara Jepang. Soetoko pun sempat memanfaatkan latihan-latihan kemiliteran yang diberikan pemerintah pendudukan Jepang. Ia bahkan ditugasi sebagai Kepala seluruh Barisan Seinendan yang terdapat di Sekolah PTT, Laboratorium, Kantor Pos dan Telegrap Besar dan kantor Telepon. Soetoko dengan sadar mempersiapkan pemuda-pemuda PTT untuk siap merebut, memanggul dan menggunakan senjata api pada waktunya. Seperti halnya Mas Soeharto, Soetoko juga memperoleh Bintang Gunzei Hoosisyoo Otsu Kozin Dai Ni Go. Adapun Kasmiri Soemamihardja yang tidak bekerja di Kantor Pusat PTT, menjadi Kepala Pemancar di Jawa Musen Kiki Seisakusho. . Dia pun menerima “Soerat poedjian” (ditulis dalam bahasa Indonesia dan Jepang) berbunyi: “….orang jang senantiasa mendjalankan kewadjibannja dengan memoeaskan mereka yang diatasnja dan selaloe beroesaha memperbesar hasil pekerdjaannja”, dibacakan oleh Masao Miura, Kepala Jawa Musen Kiki Seisakusho, di Showa, Jepang pada tahoen 19 boelan 15 hari 6.
Tanggal 14 Agustus1945, Soetoko mendengar Radio Tokyo menyiarkan penyerahan tanpa syarat Pemerintah Pusat Jepang kepada Sekutu. Ia segera menilpon teman-temannya di Jakarta minta agar segera mengumumkan kemerdekaan bahkan menyatakan Bandung siap melakukannya bila Jakarta tidak bersedia, agar bangsa tidak kehilangan momentum. Peristiwa heroik mempersiapkan proklamasi kemerdekaan memang terjadi di Jakarta, hingga proklamasi kemerdekaan dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Bulan September 1945 adalah bulan sibuk bagi Soetoko. Pada tanggal 3, Soetoko berunding dengan kawan-kawannya terdekat dari Pasukan Khusus PTT yang kemudian menjadi inti dari Angkatan Muda PTT (AMPTT), dan pada tanggal 23 menggariskan langkah-langkah perjuangan konkrit selanjutnya. Kasmiri Soemamihardja bergabung pada AMPTT Radio Laboratorium PTT. Keesookan harinya tanggal 24, Soetoko menghadap Mas Soeharto dan R.Dijar, lalu bersama-sama menemui pimpinan PTT Jepang untuk mengambil alih Kantor Pusat PTT, namun hanya dibolehkan menaikkan bendera Merah-Putih di halaman belakang saja. Merasa tidak puas, pemuda AMPTT segera menaikkan bendera Merah-putih di tiang bendera pada halaman depan Kantor Pusat PTT yang menghadap jalan Cilaki. Tanggal 26, Tsusin Tai (Barisan Pusat PTT) dibawah komando Soewarno dan Nawawi Alif meruntuhkan tanggul barikade yang mengelilingi Kantor Pusat PTT. Sorenya Soetoko melapor kepada Mas Soeharto di jl Jawa No. 2 bahwa AMPTT esok-hari akan merebut Kantor Pusat PTT dari tangan Jepang. Mas Soeharto menyetujui dan merestui. Tanggal 27 September pagi hari, Kasmiri Soemamihardja bersama barisan AMPTT Radio Laboratorium bergabung dengan pemuda AMPTT dari Kantor Pusat dan unit-unit lainnya sudah mengepung Kantor Pusat PTT, sedangkan masyarakat dikerahkan berhimpun di halaman selatan. Siangnya Mas Soeharto dan R Dijar menemui pimpinan PTT Jepang lagi merundingkan penyerahan kekuasaan, namun kembali gagal. Soewarno dengan pasukannya lalu naik ke tingkat dua dan memasuki kamar pimpinan PTT Jepang. Mereka disambut dengan hunusan pedang samurai, namun kedua pihak menyadari tidak perlu terjadi pertumpahan darah. Lalu para pejabat PTT Jepang itu menyerahkan beberapa pucuk pistol sebagai tanda menyerah, sedangkan Soewarno mempersilakan mereka tetap menyandang samurainya. Kemudian Soetoko mengajak Mas Soeharto dan R Diyar turun untuk menemui kerumunan pemuda AMPTT, pegawai dan masyarakat. Soetoko membacakan sebuah pernyataan yang telah disiapkan sendiri sebelumnya:
“Atas nama seluruh pegawai PTT, dengan ini, dengan disaksikan oleh massa rakyat yang berkumpul di halaman PTT jam 11.00 tanggal 27 September 1945, kami mengangkat Bapak Mas Soehartyo dan Bapak R. Dijar, masing-masing menjadi Kepala dan Wakil Kepala Jawatan PTT seluruh Indonesia”. Atas nama AMPTT, Soetoko.
Soewondo lalu memimpin beberapa pemuda AMPTT menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan bendera Indonesia pada tiang resmi yang menghadap Jl. Cisanggarung. Massa, pegawai dan pemuda AMPTT bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Seluruh Jawatan PTT dengan semua eselonnya telah menjadi milik dan aparat Pemerintah Republik Indonesia. Pasukan Soewarno meruntuhkan sampai rata sisa barikade yang masih ada. Pengambil-alihan kekuasaan Kantor Pusat PTT dari tangan Jepang tanpa pertumpahan darah itu mengilhami pegawai PTT di kantor-kantor PTT lain di luar Bandung untuk melakukan hal yang sama. Demikian pula Angkatan Muda di kantor-kantor pemerintah lain di Bandung seperti di Balai Besar Kereta Api, Kantor Karesidenan, Jawatan Geologi, Perusahaan Listrik (Gebeo), Jawatan Pekerjaan Umum, segera bergerak mengambil-alih instansi mereka masing-masing.
Tanggal 9 Oktober, Soetoko memimpin pemuda AMPTT sebagai ujung tombak bersama pemuda dan masyarakat lain bergerak ke Pabrik Senjata di Kiaracondong, Bandung. Hampir saja terjadi perkelahian antara Soetoko yang memegang kelewang dengan seorang serdadu Jepang yang sudah menghunus pedang, namun berhasil dicegah oleh serdadu Jepang lainnya. Soetoko meninggalkan perundingan lalu memberi isyarat maka pemuda AMPTT dan yang lainnya segera menyerbu dari arah belakang Pabrik Senjata, memanjat tembok dan membuka pintu dari dalam. Pihak Jepang tidak melakukan perlawanan dan menyerahkan gedung PSM (Pabrik Senjata dan Mesiu) kepada pemuda dan pasukan bantuan polisi yang baru tiba.
Karena keamanan di sekitar Gedung Sate tidak lagi terjamin, maka Mas Soeharto dan staf mengalihkan kegiatan mereka ke Kantor Pos Besar Bandung. Hubungan dengan kantor-kantor PTT di daerah-daerah, khususnya Yogjakarta dan Jakarta terus dilakukan. Awal tahun 1946, Soetoko bersama Nawawi Alif, memasang sebuah pemancar radio mobil di gedung PTT jl. Sentot, Bandung, dan dinamai “Radio Banteng Hitam”. Ketika situasi semakin tidak aman, Radio Banteng Hitam dipindah ke Pabrik Obat Karuhun di Bandung Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya situasi dan kondisi perang kemerdekaan telah membuat Soetoko semakin jauh masuk ke dalam profesi militer dan meninggalkan PTT dalam pangkat Pegawai-menengah tingkat I. Di lingkungan TNI Soetoko menjadi Komandan Kelaskaran padaMarkas Dewan Pimpinan Perdjoangan Priangan.
Tidak beda dengan Soetoko, Kasmiri pun melibatkan diri di dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berada di bawah pimpinan Arudji Kartawinata. Mula-mula diperbantukan di PHB Resimen 8, kemudian dipindahkan ke Komandemen Perhubungan (PHB) Jawa Barat yang berpusat di Tasikmalaya. Setelah itu Kasmiri diangkat sebagai Komandan PHB Divisi III Siliwangi dengan pangkat Kapten, ditempatkan di markas Divisi III Malangbong, dan ditugasi membangun jalur hubungan telekomunikasi mengelilingi kota Bandung dan sekitarnya untuk kepentingan pertahanan terhadap kemungkinan penyerbuan NICA . Kasmiri menjalin kerjasama yang baik dengan Radio Laboratorium PTT sehingga tugas dari Panglima Divisi III Siliwangi itu dapat diselesaikannya. Sebagai Komandan PHB Divisi III, Kasmiri mendirikan pos-pos PHB di Gununghalu Cililin – Padalarang, Lem,bang, Cicalengka, Nagrek, Banjaran dan Soreang.
Pada tanggal 24 Maret 1946, Musyawarah Majelis Persatuan Perjoangan Priangan (MP3) mengambil keputusan antara lain melakukan siasat bumi hangus untuk melawan perintah Sekutu agar Bandung Selatan dikosongkan sampai 11 km. Pranoto dari AMPTT ditugasi untuk membumihanguskan gedung Kantor Pusat PTT, namun gagal karena kekurangan bahan peledak. Bandung menjadi Lautan Api. Kepala Kantor Pusat PTT dan Wakilnya hijrah ke Yogjakarta dan menempati kantor di jl. Gemblakan No. 47 yang dijadikan juga untuk rumah tinggal Mas Soeharto dan keluarganya. Kantor PTT terpencar di banyak tempat. Kondisi kesejahteraan pegawai sangat memprihatinkan dan pekerjaan pun menghadapi banyak kesulitan dan tantangan. Kantor Pusat PTT di Yogjakarta meminta kesediaan Kasmiri, sebagai pegawai PTT, untuk ikut serta dalam pembangunan Radio Laboratorium TERLAB di Yogjakarta. Panggilan tugas ini menyebabkan Kasmiri mengakhiri karier militernya dan kembali ke lingkungan PTT, dan menjabat sebagai Kepala Bagian Penerimaan TERLAB. PTT juga membangun stasiun radio di Yogja, Solo, Delanggu dan Tawangmangu yang bisa berhubungan dengan Bukittinggi dan Luar Negeri. Stasiun radio kecil dibangun di Sarangan, Magetan, Pacitan dan di tempat lain. Dibuat juga stasiun radio mobil. PTT melayani keagenan Kantor Berita “Antara” di bidang pemberitaan untuk pers bahkan turut serta dalam pengedaran dan pengiriman uang ORI,
Pada tahun 1947 Presiden Soekarno mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak sesudah agresi pertama Belanda. Perintah itu dipancar-luaskan melalui pemancar keliling PTT yang dipasang di sebuah Truk. Stasiun Pemancar radio di rumah Mas Soeharto juga berperan penting untuk pengiriman berita morse melalui relai Tawangmangu ke New Delhi dan Sydney, pengiriman berita hasil Komisi Tiga Negara di Kaliurang dan perundingan Renville di kapal Renville. Kapten kapal Renville menyumbangkan sebuah pemancar mobil untuk keperluan tersebut dan dipasang di Gemblakan 47. Selain menjabat sebagai Kepala Bagian Penerimaan TERLAB, Kasmiri juga bertugas sebagai Radiotelegrafis di Stasiun Radio YHN-6 yang pemancarnya ada di jalan Gemblakan No. 47 itu. Stasiun Radio YHN-6 ini melangsungkan hubungan komunikasi dengan stasiun radio Pacitan yang dapat diteruskan ke luar negeri (dalam hal ini ke New Delhi) melalui pemancar yang terdapat di Delanggu Solo. Pada tanggal 28 Oktober 1947, ketika sedang mengadakan hubungan dengan Pacitan, tiba-tiba petir menyambar dan membakar habis pesawat penerima, pemancar dan kawat-kawat antennanya. Kasmiri terhindar dari cidera kemudian langsung memperbaiki kerusakan berat pada peralatan komunikasi radio PTT dan pada hari itu juga berhasil mengudara kembali. Jawatan PTT memberikan penghargaan kepada Kasmiri dan anak-buahnya pada keesokan harinya tanggal 29 Oktober 1947 dengan “Soerat Pernjataan Terima kasih”. Pemancar YHN-6 ikut berperan juga menghubungkan Pusat Pemerintahan RI di Yogjakarta dengan kapal USS “Renville” yang berlabuh di Tanjung Priok, ketika terjadi perundingan Renville pada tanggal 8 Desember 1947. Atas kelancaran perhubungan radio Yogjakarta – USS “Renville” itu, Communication Officer USS “Renville”, Ray E Dewey, mengirim surat terimakasih kepada Kasmiri pada tanggal 4 Februari 19481948. Ketika pemberontakan PKI meletus di Madiun pada tanggal 18 September, stasiun radio PTT di Tawangmangu melakukan monitoring dan menyabot siaran radio PKI Muso pada gelombang 55 meter. Dalam struktur organisasi, Kasmiri berada di bawah Marwoto (Kepala Urusan Teknik) dan Marwoto berada langsung di bawah Kepala PTT Mas Soeharto. Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama dengan memborbardir kemudian melancarkan penyerbuan ke Yogjakarta pada tanggal 19 Desember 1948, Kasmiri menyarankan agar Mas Soeharto segera mengungsi ke luar kota membawa serta peralatan pesawat pemancar yang penting. Namun Mas Soeharto menolak saran Kasmiri. Pemancar radio di Gemblakan 47 masih sempat mengirimkan berita Pemerintah ke Bukittinggi, dan merupakan berita terakhir yang pernah dikirimkan, sebelum kemudian kamar pemancar dikunci. Mas Soeharto tetap tinggal di Gemblakan 47, namun tidak mau bekerja-sama dengan Belanda. Pada tanggal 17 Januari1949 lewat tengah malam, sepasukan Militaire Inlichtingen Dienst (MID) dibawah pimpinan Letnan Kramers mengepung rumah Mas Soeharto lalu bergerak masuk dan melakukan penggeledahan. Mas Soeharto yang sedang sakit dan mau tidur dibawa masuk ke kamar pemancar dan disiksa dengan tuduhan membantu gerilyawan. Kemudian semua peralatan radio kecuali generator diangkut keluar dan Mas Soeharto langsung dibawa pergi dengan jeep. Sejak itu Mas Soeharto tidak pernah kembali, tidak pula diketahui keberadaannya hingga kini, kalau dibunuh pun tidak diketahui dimana jasadnya dimakamkan. Upaya Ny.S.M. Soeharto mencari tahu keberadaan suaminya langsung ke MID tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Mas Soeharto telah mengorbankan segala-galanya. Beliau merupakan pahlawan PTT, yang diratapi oleh seluruh anak-buahnya, para pejabat instansi RI di Ibukota dan Pemerintah RI dalam perjuangan. Seorang tokoh yang dapat dijadikan panutan dan akan tetap dikenang sepanjang masa.
Akan halnya Soetoko, gabungan kelaskaran yang dipimpin oleh Soetoko akhirnya berkembang menjadi lima Batalyon dan kemudian menjadi Resimen dalam Tentara Republik Indonesia, dengan nama Resimen Tentara Perjoangan, bermarkas di Tasikmalaya. Karirnya di TNI cukup mengesankan. Sempat menjabat Wakil Kepala staf Divisi Siliwangi, dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, sebelum memasuki masa purnawirawan dengan pangkat terakhir: Brigadir Jenderal. Setelah purnawirawan, pernah menjadi Anggota DPRGR-MPRS dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung serta Anggota Tim Penasehat Presiden untuk Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-7).
Adapun Kasmiri Soemamihardja kembali bertugas di Radio Laboratorium PTT Bandung tatkala Pusat Pemerintahan RI kembali ke Jakarta dari Yogjakarta pada 28 Desember 1949. Ia sempat memperoleh tugas memindahkan Stasiun Pemancar di Jakarta dari jalan Irian ke Kaliangke, sedangkan Stasiun Penerimanya dipindahkan ke Batuceper di Wilayah Tangerang. Kantor Telegrap DTX juga dipindah dari kantor di lapangan Merdeka ke jalan Moh. Husni Thamrin, sementara menunggu selesainya pembangunan gedung Kantor Gambir, serta hubungan Radio Pantai dari Lapangan Merdeka ke Stasiun Penerima Batuceper. Setelah semua tugas itu diselesaikannya dengan baik, Kasmiri kembali tidak mau tinggal diam dan ikut mendaftarkan diri sebagai anggota Corps Irian Barat PTT (CIB-PTT). Pada tanggal 13 Oktober 1962 ia diberangkatkan ke Ujungpandang, kemudian meneruskan ke Irian Barat sebagai Komponen Sipil menumpang kapal Landing Ship Tank dengan membawa berbagai perlengkapan telekomunikasi yang diperlukan di Irian Barat. Di masa Badan Sementara PBB (UNTEA) memegang kekuasaan pemerintahan di Irian Barat pada tanggal 1 Oktober 1962 – 30 April 1963, Kasmiri menjabat sebagai Kepala Dinas Adminisatrasi (Hoofd Administratie) merangkap Inspektur PTT UNTEA. Usai UNTEA, Kasmiri kembali ke Bandung dan ditempatkan di Direktorat Pembangunan Kantor Pusat PN POSTEL sebagai Kepala Bagian Umum, Riset dan Perencanaan. Pegawai PTT tiga zaman ini memasuki masa pensiun pada tahun 1969 setelah mengabdikan dirinya pada PTT selama 38 tahun. Pada saat purna tugas itu, isteri dan 6 anak serta 13 cucu menemani Kasmiri menjalani masa tuanya yang tenang dan bahagia.
Kini ketiga satria PTT itu telah tidak berada di sisi kita lagi, namun hasil karya besar mereka masih tegak berdiri dan telah menjelma menjadi PT POS (Persero) dan PT TELKOM, Tbk. (Diolah dari buku “Tokoh Tokoh Sejarah Perjuangan Dan Pembangunan Pos Dan Telekomunikasi Di Indonesia”, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi – Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, 27 September 1985).
Sumber : http://opensource.telkomspeedy.com/