Di sejumlah kota besar di Indonesia bukan lagi hal yang aneh ditemui banyaknya galian kabel serat optik dilakukan oleh para kontraktor sipil.
Bagi penyelenggara jasa telekomunikasi, serat optik memang menjadi pilihan utama untuk menyediakan akses ke last mile ketimbang tembaga.
Hal ini karena serat optik mampu menghantarkan data dengan kecepatan tinggi dan harganya lumayan murah. Di pasaran harga serat optik per meternya mencapai tiga dollar AS, angka itu diluar pekerjaan sipil untuk menanamnya.
Sedangkan kecepatan akses data yang bisa dihantar 10 mbps hingga 1 Gbps, tergantung kepada yang diinginkan oleh penyelenggara.
Penggelaran serat optik yang marak tentunya tak bisa dilepaskan akan datangnya era Fiber To The x (FTTx) untuk menggantikan xDSL dengan tembaga.
Sayangnya, karena belum adanya penataan dari pembangunan serat optik, terjadilah kesemerawutan di bawah perut bumi akibat rute yang dipakai oleh operator hanya itu-itu saja.
“Jika bisa diteropong ke bawah tanah, akan kelihatan serat optik itu numpuk. Seandainya terlihat di luar akan mengalahkan hutan menara yang didengung-dengungkan regulator,” ungkap Direktur Utama Melsa Net Heru Nugroho.
Menurut Heru, terjadinya kesemerawutan pembangunan serat optik karena pemerintah sudah salah langkah sejak awal dalam memberikan izin bagi penyelengara. “Pemerintah tidak pakai prediksi dan analisis lapangan yang komprehensif. Lisensi penyelenggaraan diberikan secara mudah kepada banyak ‘players’, tanpa satu grand design terpadu,” sesalnya.
Pemerintah dianggap terlalu mempercayai proses seleksi alam sehingga hanya yang punya modal kuat mampu bertahan. Akibatnya, semua pemain berlomba-lomba untuk perform dan membangun tanpa kendali, tanpa pengawasan lapangan yang terintegrasi.
“Jangan kaget antara Jakarta-Bandung ada sejumlah tarikan serat optik yang masing-masing utilisasi cuma di bawah 50 persen. Malah saya dengar ada serat optik yang idle sampai 90 persen. Itu baru Jakarta-Bandung. Belum lagi yang di dalam kota. Padahal, di daerah tertentu yang tidak komersial belum ada tarikan serat optik sama sekali,” katanya.
Ketua Bidang Pengembangan Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan mengakui overlay memang terjadi dalam pembangunan serat optik khususnya yang dijadikan tambahan dari dari jaringan yang ada, untuk pemain yang berbeda.
Praktisi Telematika Suryatin Setiawan mengatakan, jaringan serat optik memerlukan redudansi agar robust. Duplikasi dalam batas tertentu masih bisa diterima agar ada juga persaingan tapi duplikasi berlebihan perlu dihindari.
“Misalnya di jalur yang sama dibangun serat optik lebih dari 2 operator . Suatu saat nanti , tak akan juga bisa dihindari ada serat optik bersama di kalangan operator. Ini hanya soal waktu saja,” katanya.
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menyarankan, pemerintah harus memiliki perencanaan yang jelas dalam pembangunan serat optik.
“Lebih baik masalah pembangunan serat optik yang menjadi backbone itu ditender dengan pesertanya para kontraktor jaringan. Setelah itu, infrastruktur ditawarkan ke operator yang mau memelihara. Nah, bandwitdh yang dipelihara itu dijual ke penyedia jasa internet, kalau begini baru tarif bisa murah karena investasi bisa ditekan,” katanya.
Menurut Nonot, pembangunan ala Palapa Ring yang memaksa opertaor membangun serat optik tidak akan efisien karena dari hulu ke hilir infrastruktur dikuasai oleh penyelenggara jaringan. “Tren ke depan adalah open access. Ini harus mulai direvisi,” katanya.
Heru mengakui, jika bicara keadaan saat ini sudah dilematis untuk membangun serat optik ala Palapa Ring karena sudah kadung semerawut. “Semestinya pemerintah bisa menata ulang, meski upayanya cukup berat dan harus sedikit otoriter,” katanya.
Taufik menambahkan, idealnya untuk serat optik yang memerlukan right of way di jalan-jalan, gorong-gorong, dan polongan yang perlu ijin gali, maka perlu didorong adanya facility based operator yang dapat menyewakan serat optik kepada yang lain.(id)
by indotelko on December 5, 2011
Sumber : Indotelko.com